KRISIS EKONOMI SUDAH LEWAT
Oleh : M. Sadli
Wakil Presiden Jusuf Kalla sekali lagi membuat pernyataan yang menjadi kontroversial. Ia telah bilang “krisis ekonomi di Indonesia sudah lewat”. Tergantung definisi apa yang dipakai untuk “krisis ekonomi” maka orang bisa setuju atau menolak pernyataan Wakil Presiden itu. Ada komentar bahwa “itu statement politik”, artinya suatu pernyataan fihak pemerintah karena pemerintah ini entah mau cuci tangan atau memupuk dadanya. Kalau krisis ekonomi diartikan bahwa laju pertumbuhan pendapatan nasional adalah negatip, maka hal demikian sudah tidak terjadi lagi sejak tahun 2000. Tetapi, ada orang lain yang lebih mementingkan tumpukan pengangguran dan kemiskinan yang sekarang masih tampak nyata, dan menyimpulkan bahwa ekonomi Indonesia belum keluar krisis.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menggunakan definisi pertama. Lepas, dari perbedaan pandangan ini, apa konsekuensi statement Wakil Presiden bagi kebijakan pemerintah (public policy)? Kalau ekonomi sudah keluar dari krisis maka public policy ini bisa bersikap “santai”, artinya pemerintah tidak perlu intervensi secara mendalam untuk menyelamatkan ekonomi, dan bisa lebih mengandalkan mekanisme pasar untuk menjadi mesin utama bagi kehidupan ekonomi. Inilah yang tampak menjadi asumsi kebijakan Menteri Perekonomian Boediono. Cukup kalau pemerintah menjaga berlangsungnya stabilitas ekonomi lewat kebijakan fiskal dan moneternya, dan mengandalkan kepada reaksi dari masyarakat. Kalau masyarakat tetap mengadakan perbelanjaan tinggi untuk konsumsi, investasi dan kalau kinerja ekspor baik maka itulah keadaan yang paling aman dan baik. Setiap intervensi pemerintah yang signifikan selalu membawa resiko tingkat inflasi naik.
Sukar untuk mengharapkan bahwa dengan kebijakan fiskal dan moneter pemerintah (dan Bank Indonesia) laju pertumbuhan ekonomi bisa meningkat banyak. Laju pertumbuhan ekonomi ini memang masih kurang tinggi, karena masih belum melewati 6% setahun. Yang diperlukan adalah 7% setahun. Tetapi, investasi hanya bisa naik kalau investasi swata, dalam dan luar negeri, cukup. Ini masih banyak kurangnya. Dulu, di zaman Suharto maka total investasi melebihi 30% PDB. Sekarang masih kurang sekitar 6% PDB, atau sekitar Rp 180 trilyun. Pertumbuhan ekonomi sekarang juga lebih disebabkan oleh karena harga-harga komoditi sedang baik. Tetapi, tingginya harga komoditi ini, terutama harga minyak bumi, juga bisa menimbulkan Dutch disease (penyatkit Belanda), yakni harga minyak tinggi menguatkan kurs rupiah yang pada gilirnya menyukarkan pertumbuhan sektor-sektor yang padat karya. Kesulitan industri dalam negeri sudah mulai nampak, dan sering kita lihat impor lebih murah daripada membeli produk industri dalam negeri.
Untuk mencegah Dutch disease juga tidak mudah. Secara teoretis maka windfall profit bagi pemerintah harus disterilisasi, artinya jangan dipakai melainkan ditabung untuk menjaga terhadap waktu pancaroba. Akan tetapi, selalu ada tekanan dari keperluan pembangunan. Artinya, mumpung ada uang, mengapa belanja pembangunan tidak digenjot? Bagi Indonesia masih ada pelipur hati, yakni windfall profit pemerintah, kalau tidak bisa dipakai untuk menggenjot pembangunan masih bisa dipakai untuk melunasi utang luar negeri. Bagi masyarakat umum, keadaan sekarang itu secara netto mungkin lebih menyukarkan kehidupan ketimbang memperingankan. Masyarakat umum harus menanggung harga-harga BBM yang lebih tinggi. Laju pertumbuhan ekonomi rupanya juga tidak tertolong oleh harga komoditi yang tinggi. Laju pertumbuhan PDB ini tetap di bawah 6% setahun.
Apakah kebijakan ekonomi Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini sudah yang optimal? Ini mungkin tergantung dari selera. Para ekonom di luar pemerintah suka mengeritik kolega-koleganya di dalam pemerintah, seolah-olah mereka mau mengatakan “kalau saya dijadikan menteri ekonomi maka pembangunan bisa saya genjot”. Tetapi, dari pengalaman sudah terbukti resikonya: inflasi bisa meningkat. Sukses dari policy demikian masih tergantung dari kualitas pemerintahan. Kualitas pemerintahan sekarang mungkin bisa dibilang “cukup”, akan tetapi masih jauh dari ideal. Maka ada dua macam “selera ekonomi”. Pertama, yang sangat menghargai stabilitas ekonomi, artinya inflasi rendah. Kedua, yang lebih mengutamakan potensi peningkatan pembangunan, dan bahaya inflasi diremehkan. Kualitas pemerintahan SBY masih bisa meningkat dalam tahun-tahun yang akan datang. Maka lebih baik policy sekarang berdasarkan kesabaran dan bersedia menunggu.
Oleh : M. Sadli
Wakil Presiden Jusuf Kalla sekali lagi membuat pernyataan yang menjadi kontroversial. Ia telah bilang “krisis ekonomi di Indonesia sudah lewat”. Tergantung definisi apa yang dipakai untuk “krisis ekonomi” maka orang bisa setuju atau menolak pernyataan Wakil Presiden itu. Ada komentar bahwa “itu statement politik”, artinya suatu pernyataan fihak pemerintah karena pemerintah ini entah mau cuci tangan atau memupuk dadanya. Kalau krisis ekonomi diartikan bahwa laju pertumbuhan pendapatan nasional adalah negatip, maka hal demikian sudah tidak terjadi lagi sejak tahun 2000. Tetapi, ada orang lain yang lebih mementingkan tumpukan pengangguran dan kemiskinan yang sekarang masih tampak nyata, dan menyimpulkan bahwa ekonomi Indonesia belum keluar krisis.
Wakil Presiden Jusuf Kalla menggunakan definisi pertama. Lepas, dari perbedaan pandangan ini, apa konsekuensi statement Wakil Presiden bagi kebijakan pemerintah (public policy)? Kalau ekonomi sudah keluar dari krisis maka public policy ini bisa bersikap “santai”, artinya pemerintah tidak perlu intervensi secara mendalam untuk menyelamatkan ekonomi, dan bisa lebih mengandalkan mekanisme pasar untuk menjadi mesin utama bagi kehidupan ekonomi. Inilah yang tampak menjadi asumsi kebijakan Menteri Perekonomian Boediono. Cukup kalau pemerintah menjaga berlangsungnya stabilitas ekonomi lewat kebijakan fiskal dan moneternya, dan mengandalkan kepada reaksi dari masyarakat. Kalau masyarakat tetap mengadakan perbelanjaan tinggi untuk konsumsi, investasi dan kalau kinerja ekspor baik maka itulah keadaan yang paling aman dan baik. Setiap intervensi pemerintah yang signifikan selalu membawa resiko tingkat inflasi naik.
Sukar untuk mengharapkan bahwa dengan kebijakan fiskal dan moneter pemerintah (dan Bank Indonesia) laju pertumbuhan ekonomi bisa meningkat banyak. Laju pertumbuhan ekonomi ini memang masih kurang tinggi, karena masih belum melewati 6% setahun. Yang diperlukan adalah 7% setahun. Tetapi, investasi hanya bisa naik kalau investasi swata, dalam dan luar negeri, cukup. Ini masih banyak kurangnya. Dulu, di zaman Suharto maka total investasi melebihi 30% PDB. Sekarang masih kurang sekitar 6% PDB, atau sekitar Rp 180 trilyun. Pertumbuhan ekonomi sekarang juga lebih disebabkan oleh karena harga-harga komoditi sedang baik. Tetapi, tingginya harga komoditi ini, terutama harga minyak bumi, juga bisa menimbulkan Dutch disease (penyatkit Belanda), yakni harga minyak tinggi menguatkan kurs rupiah yang pada gilirnya menyukarkan pertumbuhan sektor-sektor yang padat karya. Kesulitan industri dalam negeri sudah mulai nampak, dan sering kita lihat impor lebih murah daripada membeli produk industri dalam negeri.
Untuk mencegah Dutch disease juga tidak mudah. Secara teoretis maka windfall profit bagi pemerintah harus disterilisasi, artinya jangan dipakai melainkan ditabung untuk menjaga terhadap waktu pancaroba. Akan tetapi, selalu ada tekanan dari keperluan pembangunan. Artinya, mumpung ada uang, mengapa belanja pembangunan tidak digenjot? Bagi Indonesia masih ada pelipur hati, yakni windfall profit pemerintah, kalau tidak bisa dipakai untuk menggenjot pembangunan masih bisa dipakai untuk melunasi utang luar negeri. Bagi masyarakat umum, keadaan sekarang itu secara netto mungkin lebih menyukarkan kehidupan ketimbang memperingankan. Masyarakat umum harus menanggung harga-harga BBM yang lebih tinggi. Laju pertumbuhan ekonomi rupanya juga tidak tertolong oleh harga komoditi yang tinggi. Laju pertumbuhan PDB ini tetap di bawah 6% setahun.
Apakah kebijakan ekonomi Pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono sekarang ini sudah yang optimal? Ini mungkin tergantung dari selera. Para ekonom di luar pemerintah suka mengeritik kolega-koleganya di dalam pemerintah, seolah-olah mereka mau mengatakan “kalau saya dijadikan menteri ekonomi maka pembangunan bisa saya genjot”. Tetapi, dari pengalaman sudah terbukti resikonya: inflasi bisa meningkat. Sukses dari policy demikian masih tergantung dari kualitas pemerintahan. Kualitas pemerintahan sekarang mungkin bisa dibilang “cukup”, akan tetapi masih jauh dari ideal. Maka ada dua macam “selera ekonomi”. Pertama, yang sangat menghargai stabilitas ekonomi, artinya inflasi rendah. Kedua, yang lebih mengutamakan potensi peningkatan pembangunan, dan bahaya inflasi diremehkan. Kualitas pemerintahan SBY masih bisa meningkat dalam tahun-tahun yang akan datang. Maka lebih baik policy sekarang berdasarkan kesabaran dan bersedia menunggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar