MENGUSAHAKAN PENGURANGAN ANGSURAN UTANG
Oleh : M. Sadhli
Masalah beban angsuran utang negara sekonyong-konyong timbul di pembicaraan umum sesudah reshuffle kabinet yang menghasilkan tokoh politik sebagai kepala BAPPENAS, Paskah Suzetta. Ia bukan “teknokrat” (sebutan populer ahli ekonomi non-partai dalam kedudukan menteri) melainkan ketua komisi di DPR dan kader Partai Golkar. Menurut orang IMF yang berkedudukan di Jakarta, ia tidak heran karena pada pengalaman kontaknya dengan DPR masalah ini sering masuk pembicaraan. Di lain fihak, dari tokoh-tokoh pemerintah, terutama menteri ekonomi, masalah ini jarang sekali diketengahkan dan dianggap terlalu sensitip.
Bagi kalangan DPR cukup ada alasan. Sebelum penyesuaian harga-harga BBM maka APBN terlalu dibebani oleh dua mata anggaran yang dipandang kurang bisa memacu pertumbuhan ekonomi, pertama, pos anggaran angsuran utang, dan kedua, subsidi BBM. Untuk bisa melihat angka-angka dalam perspektip harus diingat bahwa besar PDB Indonesia untuk tahun 2006 akan sekitar Rp 3000 trilyun. Belanja negara sekitar Rp 650 trilyun atau sekitar 20%. PDB Pos angsuran utang luar negeri untuk 2006 adalah Rp 60 untuk angsuran pokok dan Rp 30 trilyun untuk bunganya, yang dipandang terlalu berat (total 14% PDB). Rasio yang baik adalah antara lima dan sepuluh persen. Subsidi BBM sudah banyak dikurangi, walaupun minyak tanah masih diberi subsidi besar. Harga resmi seliter adalah sekitar Rp 2000 sedangkan biaya pengadaan di atas Rp 4000 seliter. Maka di APBN 2006 masih ada pos sekitar Rp 50 trilyun untuk subsidi BBM. Kewajiban pada 2006, total kewajiban utang luar negeri Rp 88,4 trilyun dan utang dalam negeri Rp 80 trilyun. Maka beban utang luar negeri adalah sekitar 30% dari PDB. Rasio utang luar negeri terhadap PDB ini sudah banyak diturunkan. Di tahun 2000 masih sekitar 100% PDB dan di tahun 2005 sudah sekitar 50% PDB. Maka dilihat dari kemampuan (kapasitas) ekonomi untuk menanggungnya harus disimpulkan tidak ada masalah besar. Akan tetapi, dana yang harus disediakan untuk angsuran utang ini harus dibandingkan dengan pos lain dalam anggaran belanja, yang secara sosial ekonomi lebih penting, yakni belanja pembangunan, terutama di sektor pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Anehnya, pernyataan Menteri Kepala Bappenas baru itu bukan tuntutan mutlak. Lebih banyak merupakan “harapan”, dan diakuinya masih harus dibicarakan dengan menteri keuangan dan menko perekonomian. Dalam hal ini, menteri perekonomian, Sri Mulyani Indrawati, lebih bersikap diam tanpa komentar. Kiranya, baik menteri keuangan maupun menko perekonomian tidak mau bikin kaget para kreditor dan pasar uang. Maka dalam berapa waktu yang akan datang harus dicermati, apakah permulaan diskusi publik mengenai pengurangan pembayaran utang ini akan lebih mencuat dan memanas, atau akan mati, ditinggalkan tanpa konklusi yang praktis. Lepas dari segi politis dari ucapan menteri kepala Bappenas yang baru, maka masalah pembayaran kembali utang negara harus dibedakan antara keperluan jangka pendek dan jangka panjang. Beban pembayaran kembali masih akan berat untuk masa jangka panjang, kira-kira lima belas tahun yang akan datang. Padahal usia jabatan menteri hanya lima tahun. Maka bagi menteri masalah jangka pendek lebih penting. Masalah jangka pendek bisa berupa memuncaknya keperluan pembayaran kembali. Beban puncak pembayaran ini bisa diupayakan untuk lebih diratakan, artinya, diupayakan rescheduling beberapa beban utang yang jatuh tempo. Ini adalah kewajiban “management utang” yang sudah dilaksanakan oleh Departemen Keuangan secara rutin.
Di tahun 2005 kebetulan pemerintah juga menerima “moratorium” (penjadwalan satu tahun) karena beberapa negara kreditor bersedia membantu Indonesia mengurangi beban rehabilitasi bencana tsunami di Aceh. Fasilitas ini tidak akan tersedia lagi tahu depan Apakah Indonesia patut dan wajar mendapat keringanan angsuran lagi? Menurut perhitungan IMF dan pemerintah sendiri, hal demikian tidak terlalu mendesak. Akan tetapi, karena ada kasus Nigeria dan Argentina, maka ada yang mempertanyakan kebutuhan yang serupa untuk Indonesia.
Suatu jawaban yang afdol tidak ada. Pemotongan utang bagi Nigeria (sebetulnya negara yang cukup mampu karena produsen minyak bumi) disebabkan oleh karena satu negara kreditor, yakni Inggris, bersikap ramah terhadap negara bekas jajahannya. Kasus Argentina lebih kompleks, dan pemerintahnya “nekad” karena kepepet. Pemerintah Indonesia tidak mau “nekad” karena takut peringkatnya di pasar modal akan jatuh. Tetapi, sikap IMF juga tidak mutlak menolak. Kalau ada negara kreditor yang besar mau membantu Indonesia, silahkan. Kemungkinannya hanya Jepang. Reaksi Jepang pertama akan menolak keras karena undang-undang dan sikap masyarakatnya, akan tetapi mungkin bisa melunak, seperti pernah terjadi.
Oleh : M. Sadhli
Masalah beban angsuran utang negara sekonyong-konyong timbul di pembicaraan umum sesudah reshuffle kabinet yang menghasilkan tokoh politik sebagai kepala BAPPENAS, Paskah Suzetta. Ia bukan “teknokrat” (sebutan populer ahli ekonomi non-partai dalam kedudukan menteri) melainkan ketua komisi di DPR dan kader Partai Golkar. Menurut orang IMF yang berkedudukan di Jakarta, ia tidak heran karena pada pengalaman kontaknya dengan DPR masalah ini sering masuk pembicaraan. Di lain fihak, dari tokoh-tokoh pemerintah, terutama menteri ekonomi, masalah ini jarang sekali diketengahkan dan dianggap terlalu sensitip.
Bagi kalangan DPR cukup ada alasan. Sebelum penyesuaian harga-harga BBM maka APBN terlalu dibebani oleh dua mata anggaran yang dipandang kurang bisa memacu pertumbuhan ekonomi, pertama, pos anggaran angsuran utang, dan kedua, subsidi BBM. Untuk bisa melihat angka-angka dalam perspektip harus diingat bahwa besar PDB Indonesia untuk tahun 2006 akan sekitar Rp 3000 trilyun. Belanja negara sekitar Rp 650 trilyun atau sekitar 20%. PDB Pos angsuran utang luar negeri untuk 2006 adalah Rp 60 untuk angsuran pokok dan Rp 30 trilyun untuk bunganya, yang dipandang terlalu berat (total 14% PDB). Rasio yang baik adalah antara lima dan sepuluh persen. Subsidi BBM sudah banyak dikurangi, walaupun minyak tanah masih diberi subsidi besar. Harga resmi seliter adalah sekitar Rp 2000 sedangkan biaya pengadaan di atas Rp 4000 seliter. Maka di APBN 2006 masih ada pos sekitar Rp 50 trilyun untuk subsidi BBM. Kewajiban pada 2006, total kewajiban utang luar negeri Rp 88,4 trilyun dan utang dalam negeri Rp 80 trilyun. Maka beban utang luar negeri adalah sekitar 30% dari PDB. Rasio utang luar negeri terhadap PDB ini sudah banyak diturunkan. Di tahun 2000 masih sekitar 100% PDB dan di tahun 2005 sudah sekitar 50% PDB. Maka dilihat dari kemampuan (kapasitas) ekonomi untuk menanggungnya harus disimpulkan tidak ada masalah besar. Akan tetapi, dana yang harus disediakan untuk angsuran utang ini harus dibandingkan dengan pos lain dalam anggaran belanja, yang secara sosial ekonomi lebih penting, yakni belanja pembangunan, terutama di sektor pendidikan, kesehatan dan pembangunan infrastruktur. Anehnya, pernyataan Menteri Kepala Bappenas baru itu bukan tuntutan mutlak. Lebih banyak merupakan “harapan”, dan diakuinya masih harus dibicarakan dengan menteri keuangan dan menko perekonomian. Dalam hal ini, menteri perekonomian, Sri Mulyani Indrawati, lebih bersikap diam tanpa komentar. Kiranya, baik menteri keuangan maupun menko perekonomian tidak mau bikin kaget para kreditor dan pasar uang. Maka dalam berapa waktu yang akan datang harus dicermati, apakah permulaan diskusi publik mengenai pengurangan pembayaran utang ini akan lebih mencuat dan memanas, atau akan mati, ditinggalkan tanpa konklusi yang praktis. Lepas dari segi politis dari ucapan menteri kepala Bappenas yang baru, maka masalah pembayaran kembali utang negara harus dibedakan antara keperluan jangka pendek dan jangka panjang. Beban pembayaran kembali masih akan berat untuk masa jangka panjang, kira-kira lima belas tahun yang akan datang. Padahal usia jabatan menteri hanya lima tahun. Maka bagi menteri masalah jangka pendek lebih penting. Masalah jangka pendek bisa berupa memuncaknya keperluan pembayaran kembali. Beban puncak pembayaran ini bisa diupayakan untuk lebih diratakan, artinya, diupayakan rescheduling beberapa beban utang yang jatuh tempo. Ini adalah kewajiban “management utang” yang sudah dilaksanakan oleh Departemen Keuangan secara rutin.
Di tahun 2005 kebetulan pemerintah juga menerima “moratorium” (penjadwalan satu tahun) karena beberapa negara kreditor bersedia membantu Indonesia mengurangi beban rehabilitasi bencana tsunami di Aceh. Fasilitas ini tidak akan tersedia lagi tahu depan Apakah Indonesia patut dan wajar mendapat keringanan angsuran lagi? Menurut perhitungan IMF dan pemerintah sendiri, hal demikian tidak terlalu mendesak. Akan tetapi, karena ada kasus Nigeria dan Argentina, maka ada yang mempertanyakan kebutuhan yang serupa untuk Indonesia.
Suatu jawaban yang afdol tidak ada. Pemotongan utang bagi Nigeria (sebetulnya negara yang cukup mampu karena produsen minyak bumi) disebabkan oleh karena satu negara kreditor, yakni Inggris, bersikap ramah terhadap negara bekas jajahannya. Kasus Argentina lebih kompleks, dan pemerintahnya “nekad” karena kepepet. Pemerintah Indonesia tidak mau “nekad” karena takut peringkatnya di pasar modal akan jatuh. Tetapi, sikap IMF juga tidak mutlak menolak. Kalau ada negara kreditor yang besar mau membantu Indonesia, silahkan. Kemungkinannya hanya Jepang. Reaksi Jepang pertama akan menolak keras karena undang-undang dan sikap masyarakatnya, akan tetapi mungkin bisa melunak, seperti pernah terjadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar