BERHATI-HATILAH MENGUBAH ATURAN REGIM DEVISA
Oleh : M. Sadli
Belakangan ini ada pemikiran di kalangan Bank Indonesia dan Pemerintah untuk mengubah aturan sistim devisa. Pasar mulai cemas, dan kalangan Kadin Indonesia sudah ikut menyuarakan sentimen ini. Ini perlu dicermati oleh penguasa moneter yang berkepentingan. Sudah lama sekali Indonesia punya sistim regim devisa yang sama sekali bebas dalam transfer masuk dan keluar. Bukan saja untuk transaksi berjalan, impor dan ekspor, tetapi juga untuk lalu lintas modal. Transfer in dan out adalah bebas sekali, sedangkan kurs tidak dipatok melainkan diambangkan di pasar. Sistim demikian yang berasal dari zaman Pemerintah Suharto telah berhasil menstabilkan ekonomi dan menunjang pertumbuhannya. Tetapi, belakangan ini ada gagasan untuk memaksa para eksportir untuk langsung memulangkan penerimaan devisanya, dan tidak menyimpannya di luar negeri. Tindakan demikian diharapkan bisa menambah supply devisa yang dikuasai oleh Bank Indonesia, sehingga Bank Indonesia bisa melayani permintaan akan devisa yang lebih besar tanpa menguras cadangannya dan menyebabkan melemahnya kurs rupiah.
Yang memang sudah terjadi adalah berkurangnya cadangan devisa akan tetapi secara tipis saja. Di lain fihak kurs rupiah juga terus menerus melemah, walaupun sedikit demi sedikit, sehingga sekarang mendekati Rp 9800 per dolar AS. Melemahnya kurs rupiah ini lalu menjadi sasaran kecemasan otoritas moneter, karena kurs yang melemah akhirnya akan menaikkan harga-harga impor dan tingkat inflasi dalam negeri. Tetapi, Bank Indonesia sebetulnya mempunyai misi utama, bukan mempertahankan kurs rupiah, melainkan menekan inflasi. Sekarang Bank Indonesia mungkin berfikir bahwa inflasi bisa lebih dikendalikan kalau kurs rupiah bisa stabil. Ini sangat mungkin kesalahan berfikir. Ada indikasi bahwa Bank Indonesia ragu-ragu dalam tindakannya mengerem inflasi (yang merupakan misi utamanya). Di dalam negeri memang ada tekanan-tekanan inflator yang sukar dibasmi. Secara teoretis maka kebijakan fiskal tidak menjadi sumber inflasi karena kebijakannya adalah mengendalikan besar defisit sehingga kurang dari 1% PDB, dan dari tahun ke tahun berkurang. Akan tetapi, dalam praktek tampak cukup banyak faktor ketidakpastian, terutama oleh karena harga minyak membubung tinggi sampai $ 60 per barrel, jauh di atas angka APBN. Maka yang menjadi kecemasan publik adalah ketidakpastian bagaimana subsidi BBM, yang bisa melebihi Rp 100 trilyun, bisa dibiayai? Mungkin akhirnya terpaksa secara inflator lagi, misalnya Departemen Keuangan menarik uang dari (rekeningnya di) Bank Indonesia.
Sebagai instrumen anti-inflasi yang paling utama maka Bank Indonesia harus menaikkan tingkat bunga SBI. Di sini tampak sikap BI yang ragu-ragu. Memang, kalau tingkat bunga dinaikkan maka pengeluaran kredit baru direm, akan tetapi anggaran belanja Bank Indonesia dan APBN Pemerintah juga mendapat beban ekstra. Kalau pun tingkat bunga SBI dinaikkan menjadi 8,5% setahun, kalau inflasi nanti 7,5% setahun tetapi dengan harga-harga BBM dikendalikan, maka pasar baca bahwa kemungkinan tingkat inflasi sebenarnya lebih tinggi daripada 7,5% setahun, sehingga tingkat suku bunga SBI menjadi ?negative in real terms?. Para pemodal (juga para eksportir) yang membaca sinyal demikian lalu lebih suka menempatkan kekayaannya di bank di luar negeri. Otoritas moneter mengatakan bahwa kewajiban merepatriasi modal akan dijamin boleh tetap dalam dollar account, asal di bank dalam negeri. Kalau pun janji ini bisa dipercaya, namun suku bunga yang bisa ditawarkan masih penting juga, sebagaimana beberapa komisi dan biaya lainnya. Akhirnya, semuanya tergantung dari kepercayaan para pengusaha kepada Pemerintah dan Bank Indonesia. Dalam hal ini, kepercayaan terhadap kecerdikan Bank Indonesia untuk menjalankan kebijakan moneter belakangan ini agak menurun. Selama kurs rupiah melemah yang disalahkan adalah Pertamina yang memerlukan devisa terlalu banyak. Segala lebutuhan Pertamina juga tidak bisa dijamin oleh Bank Indonesia sehingga Pertamina harus ?menubruk? dolar di pasar. Kalau pasar devisa tidak terbagi dalam kotak-kotak maka permintaan dan penawaran bisa ditampung lebih lancar. Bank Indonesia mengatakan bahwa di Thailand dan Malaysia juga ada semacam surrender obligation dari para eksportir dan pasar devisa tetap stabil. Mengapa di Indonesia tidak bisa yang sama? Jawabnya adalah bahwa di Malaysia dan Thailand pada umumnya kebijakan moneter dan fiskal (jauh) lebih mantap, dan inilah sebab utama kestabilan kurs. ?Fundamentals? ini belum tersedia di Indonesia
Oleh : M. Sadli
Belakangan ini ada pemikiran di kalangan Bank Indonesia dan Pemerintah untuk mengubah aturan sistim devisa. Pasar mulai cemas, dan kalangan Kadin Indonesia sudah ikut menyuarakan sentimen ini. Ini perlu dicermati oleh penguasa moneter yang berkepentingan. Sudah lama sekali Indonesia punya sistim regim devisa yang sama sekali bebas dalam transfer masuk dan keluar. Bukan saja untuk transaksi berjalan, impor dan ekspor, tetapi juga untuk lalu lintas modal. Transfer in dan out adalah bebas sekali, sedangkan kurs tidak dipatok melainkan diambangkan di pasar. Sistim demikian yang berasal dari zaman Pemerintah Suharto telah berhasil menstabilkan ekonomi dan menunjang pertumbuhannya. Tetapi, belakangan ini ada gagasan untuk memaksa para eksportir untuk langsung memulangkan penerimaan devisanya, dan tidak menyimpannya di luar negeri. Tindakan demikian diharapkan bisa menambah supply devisa yang dikuasai oleh Bank Indonesia, sehingga Bank Indonesia bisa melayani permintaan akan devisa yang lebih besar tanpa menguras cadangannya dan menyebabkan melemahnya kurs rupiah.
Yang memang sudah terjadi adalah berkurangnya cadangan devisa akan tetapi secara tipis saja. Di lain fihak kurs rupiah juga terus menerus melemah, walaupun sedikit demi sedikit, sehingga sekarang mendekati Rp 9800 per dolar AS. Melemahnya kurs rupiah ini lalu menjadi sasaran kecemasan otoritas moneter, karena kurs yang melemah akhirnya akan menaikkan harga-harga impor dan tingkat inflasi dalam negeri. Tetapi, Bank Indonesia sebetulnya mempunyai misi utama, bukan mempertahankan kurs rupiah, melainkan menekan inflasi. Sekarang Bank Indonesia mungkin berfikir bahwa inflasi bisa lebih dikendalikan kalau kurs rupiah bisa stabil. Ini sangat mungkin kesalahan berfikir. Ada indikasi bahwa Bank Indonesia ragu-ragu dalam tindakannya mengerem inflasi (yang merupakan misi utamanya). Di dalam negeri memang ada tekanan-tekanan inflator yang sukar dibasmi. Secara teoretis maka kebijakan fiskal tidak menjadi sumber inflasi karena kebijakannya adalah mengendalikan besar defisit sehingga kurang dari 1% PDB, dan dari tahun ke tahun berkurang. Akan tetapi, dalam praktek tampak cukup banyak faktor ketidakpastian, terutama oleh karena harga minyak membubung tinggi sampai $ 60 per barrel, jauh di atas angka APBN. Maka yang menjadi kecemasan publik adalah ketidakpastian bagaimana subsidi BBM, yang bisa melebihi Rp 100 trilyun, bisa dibiayai? Mungkin akhirnya terpaksa secara inflator lagi, misalnya Departemen Keuangan menarik uang dari (rekeningnya di) Bank Indonesia.
Sebagai instrumen anti-inflasi yang paling utama maka Bank Indonesia harus menaikkan tingkat bunga SBI. Di sini tampak sikap BI yang ragu-ragu. Memang, kalau tingkat bunga dinaikkan maka pengeluaran kredit baru direm, akan tetapi anggaran belanja Bank Indonesia dan APBN Pemerintah juga mendapat beban ekstra. Kalau pun tingkat bunga SBI dinaikkan menjadi 8,5% setahun, kalau inflasi nanti 7,5% setahun tetapi dengan harga-harga BBM dikendalikan, maka pasar baca bahwa kemungkinan tingkat inflasi sebenarnya lebih tinggi daripada 7,5% setahun, sehingga tingkat suku bunga SBI menjadi ?negative in real terms?. Para pemodal (juga para eksportir) yang membaca sinyal demikian lalu lebih suka menempatkan kekayaannya di bank di luar negeri. Otoritas moneter mengatakan bahwa kewajiban merepatriasi modal akan dijamin boleh tetap dalam dollar account, asal di bank dalam negeri. Kalau pun janji ini bisa dipercaya, namun suku bunga yang bisa ditawarkan masih penting juga, sebagaimana beberapa komisi dan biaya lainnya. Akhirnya, semuanya tergantung dari kepercayaan para pengusaha kepada Pemerintah dan Bank Indonesia. Dalam hal ini, kepercayaan terhadap kecerdikan Bank Indonesia untuk menjalankan kebijakan moneter belakangan ini agak menurun. Selama kurs rupiah melemah yang disalahkan adalah Pertamina yang memerlukan devisa terlalu banyak. Segala lebutuhan Pertamina juga tidak bisa dijamin oleh Bank Indonesia sehingga Pertamina harus ?menubruk? dolar di pasar. Kalau pasar devisa tidak terbagi dalam kotak-kotak maka permintaan dan penawaran bisa ditampung lebih lancar. Bank Indonesia mengatakan bahwa di Thailand dan Malaysia juga ada semacam surrender obligation dari para eksportir dan pasar devisa tetap stabil. Mengapa di Indonesia tidak bisa yang sama? Jawabnya adalah bahwa di Malaysia dan Thailand pada umumnya kebijakan moneter dan fiskal (jauh) lebih mantap, dan inilah sebab utama kestabilan kurs. ?Fundamentals? ini belum tersedia di Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar