RUPIAH MELEMAH, KARENA SENTIMEN PASAR MELULU?
Oleh : M. Sadli
Nilai rupiah sudah melemah sekitar 10% selama tahun ini. Belakangan ini ambang Rp 10.000 per dolar AS telah dilintasi. Angka ini rupanya punya efek psikologis sendiri. Kalau tingkat ini dilalui maka kepercayaan pasar semakin goncang. Akan tetapi, pertanyaannya apakah melemahnya rupiah hanya disebabkan oleh faktor psikologis, ataukah ada kelemahan yang lebih fundamental pada badan ekonomi kita?Kelemahan nilai mata uang biasanya dikaitkan kepada kualitas kebijakan pemerintah dan bank sentral di dua bidang, yakni kebijakan fiskal (anggaran belanja) pemerintah, dan kebijakan moneter bank sentral. Dilihat dari sudut ini memang bisa dilihat adanya kelemahan kebijakan, yang menyebabkan tingkat ketidakpastian meningkat. Pengelolaan APBN di atas kertas OK OK saja. Besar defisit diusahakan semakin mengecil dan berada di bawah satu persen PDB, menuju ke nol. Akan tetapi implementasi APBN 2005 (dan RAPBN 2006) membawa persoalan pelit karena harga minyak bumi melangit sampai di atas $ 60 per barrel. Harga-harga BBM dalam negeri belum disesuaikan dan bagaimana defisit yang menggangga itu akan dibiayai belum tampak juga. Pembiayaan demikian harus berdasar pinjaman dalam dan luar negeri dan cara yang menuju ke ?mencetak uang baru? harus ditolak. Akan tetapi beban utang sudah sangat tingginya, sehingga pemerintah menghadapi dilema. Dilema demikian juga dibaca oleh pasar dan pelaku di pasar menjadi gusar dan memperkirakan bahwa tingkat inflasi akan lebih tinggi daripada angka sasaran pemerintah, yakni sekitar 7-8% setahun. Pelemahan rupiah yang sudah sekitar 10% itu lebih searah dengan ekspektasi laju inflasi dalam persepsi pasar.
Di bidang kebijakan moneter maka orang juga melihat dilema bagi Bank Indonesia. Sebetulnya BI sekarang hanya punya satu misi, yakni melindungi nilai rupiah, artinya, mengusahakan inflasi yang rendah. Dulu BI masih punya misi untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, pimpinan BI kadang-kadang masih tampak ragu-ragu. Untuk mengurangi tekanan inflasi maka BI sebetulnya harus menaikkan tingkat bunga SBI. Ini sudah dilakukan sampai 8,75% setahun, akan tetapi rupanya tidak mempan (oleh karena ancaman inflasi sekarang juga bersumber kepada ketidakpastian di APBN). Maka BI sekarang ini menggunakan instrumennya kedua, yakni menjual dolar dari cadangannya, tetapi inipun belum mempan melawan arus suatu trend, bukan fluktuasi. Maka BI masih punya opsi pertama, yakni menaikkan bunga SBI lebih tinggi lagi, akan tetapi BI takut akan merugikan sektor riil dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sebetulnya, Bank Indonesia tidak boleh merasa bertanggung jawab atas laju pertumbuhan ekonomi ini. Secara realistik juga harus disadari bahwa untuk mengerem arus inflasi yang meninggi maka laju pertumbuhan ekonomi (jangka pendek) mungkin harus sedikit dikorbankan.Presiden secara dramatis mengadakan pertemuan mendadak dengan pimpinan Bank Indonesia. Yang diexpose adalah janji kerjasama yang lebih baik antara bank sentral dan pemerintah, antara kebijakan fiskal dan moneter. Ini maksud ini baik, akan tetapi sering publik ingat bahwa follow-up dari gebrakan-gebrakan Presiden tidak segera nyata. Maka Presiden harus juga sadar bahwa ia punya sedikit masalah kredibilitas.
Maka lebih penting adalah tindak lanjut sikap kerjasama antara pimpinan negara dan pimpinan bank sentral. Menteri keuangan dan stafnya sekarang harus menfollow-up dengan staf Bank Indonesia. Mungkin dalam hal ini peran Kepala Bappenas, Sri Mulyani Indrawati, bisa dimanfaatkan, sebagai go-between yang dipercaya. Sekaligus sebetulnya Presiden harus mempertimbangkan juga suatu reshuffle pada kabinetnya untuk meningkatkan kinerjanya.
Tetapi, beberapa keputusan policy yang pelik harus diambil dulu, yakni keputusan kapan subsidi BBM yang membengkak harus mulai dipangkas, artinya harga BBM harus dinaikkan, sekarang atau menunggu tahun depan? Sebaiknya tidak menunggu. Keputusan ini kiranya lebih penting daripada keputusan apakah suku bunga SBI harus dinaikkan lebih tinggi lagi daripada 8,75% setahun. Sekarang, kelemahan di bidang kebijakan fiskal, yang menimbulkan ketidakpastian di pasar dan mengoncang pasar uang, menjadi lebih menentukan daripada kelemahan di bidang moneter. Kalau harga BBM dinaikkan maka inflasi akan naik sedikit, akan tetapi, kalau tidak dilakukan maka inflasi juga akan naik karena akibat besar defisit.
Sementara itu citra pemerintah dan BI masih juga bisa ditingkatkan dan kepercayaan pasar dikembalikan kalau berbagai pernyataan dari pejabat Departemen Keuangan dan pejabat Bank Indonesia bisa dikoordinasikan lebih baik sehingga tidak menambah confusion di pasar uang.
Sumber dari Kumpulan Artikel Ekonomi Moneter
Oleh : M. Sadli
Nilai rupiah sudah melemah sekitar 10% selama tahun ini. Belakangan ini ambang Rp 10.000 per dolar AS telah dilintasi. Angka ini rupanya punya efek psikologis sendiri. Kalau tingkat ini dilalui maka kepercayaan pasar semakin goncang. Akan tetapi, pertanyaannya apakah melemahnya rupiah hanya disebabkan oleh faktor psikologis, ataukah ada kelemahan yang lebih fundamental pada badan ekonomi kita?Kelemahan nilai mata uang biasanya dikaitkan kepada kualitas kebijakan pemerintah dan bank sentral di dua bidang, yakni kebijakan fiskal (anggaran belanja) pemerintah, dan kebijakan moneter bank sentral. Dilihat dari sudut ini memang bisa dilihat adanya kelemahan kebijakan, yang menyebabkan tingkat ketidakpastian meningkat. Pengelolaan APBN di atas kertas OK OK saja. Besar defisit diusahakan semakin mengecil dan berada di bawah satu persen PDB, menuju ke nol. Akan tetapi implementasi APBN 2005 (dan RAPBN 2006) membawa persoalan pelit karena harga minyak bumi melangit sampai di atas $ 60 per barrel. Harga-harga BBM dalam negeri belum disesuaikan dan bagaimana defisit yang menggangga itu akan dibiayai belum tampak juga. Pembiayaan demikian harus berdasar pinjaman dalam dan luar negeri dan cara yang menuju ke ?mencetak uang baru? harus ditolak. Akan tetapi beban utang sudah sangat tingginya, sehingga pemerintah menghadapi dilema. Dilema demikian juga dibaca oleh pasar dan pelaku di pasar menjadi gusar dan memperkirakan bahwa tingkat inflasi akan lebih tinggi daripada angka sasaran pemerintah, yakni sekitar 7-8% setahun. Pelemahan rupiah yang sudah sekitar 10% itu lebih searah dengan ekspektasi laju inflasi dalam persepsi pasar.
Di bidang kebijakan moneter maka orang juga melihat dilema bagi Bank Indonesia. Sebetulnya BI sekarang hanya punya satu misi, yakni melindungi nilai rupiah, artinya, mengusahakan inflasi yang rendah. Dulu BI masih punya misi untuk menstimulasi pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, pimpinan BI kadang-kadang masih tampak ragu-ragu. Untuk mengurangi tekanan inflasi maka BI sebetulnya harus menaikkan tingkat bunga SBI. Ini sudah dilakukan sampai 8,75% setahun, akan tetapi rupanya tidak mempan (oleh karena ancaman inflasi sekarang juga bersumber kepada ketidakpastian di APBN). Maka BI sekarang ini menggunakan instrumennya kedua, yakni menjual dolar dari cadangannya, tetapi inipun belum mempan melawan arus suatu trend, bukan fluktuasi. Maka BI masih punya opsi pertama, yakni menaikkan bunga SBI lebih tinggi lagi, akan tetapi BI takut akan merugikan sektor riil dan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Sebetulnya, Bank Indonesia tidak boleh merasa bertanggung jawab atas laju pertumbuhan ekonomi ini. Secara realistik juga harus disadari bahwa untuk mengerem arus inflasi yang meninggi maka laju pertumbuhan ekonomi (jangka pendek) mungkin harus sedikit dikorbankan.Presiden secara dramatis mengadakan pertemuan mendadak dengan pimpinan Bank Indonesia. Yang diexpose adalah janji kerjasama yang lebih baik antara bank sentral dan pemerintah, antara kebijakan fiskal dan moneter. Ini maksud ini baik, akan tetapi sering publik ingat bahwa follow-up dari gebrakan-gebrakan Presiden tidak segera nyata. Maka Presiden harus juga sadar bahwa ia punya sedikit masalah kredibilitas.
Maka lebih penting adalah tindak lanjut sikap kerjasama antara pimpinan negara dan pimpinan bank sentral. Menteri keuangan dan stafnya sekarang harus menfollow-up dengan staf Bank Indonesia. Mungkin dalam hal ini peran Kepala Bappenas, Sri Mulyani Indrawati, bisa dimanfaatkan, sebagai go-between yang dipercaya. Sekaligus sebetulnya Presiden harus mempertimbangkan juga suatu reshuffle pada kabinetnya untuk meningkatkan kinerjanya.
Tetapi, beberapa keputusan policy yang pelik harus diambil dulu, yakni keputusan kapan subsidi BBM yang membengkak harus mulai dipangkas, artinya harga BBM harus dinaikkan, sekarang atau menunggu tahun depan? Sebaiknya tidak menunggu. Keputusan ini kiranya lebih penting daripada keputusan apakah suku bunga SBI harus dinaikkan lebih tinggi lagi daripada 8,75% setahun. Sekarang, kelemahan di bidang kebijakan fiskal, yang menimbulkan ketidakpastian di pasar dan mengoncang pasar uang, menjadi lebih menentukan daripada kelemahan di bidang moneter. Kalau harga BBM dinaikkan maka inflasi akan naik sedikit, akan tetapi, kalau tidak dilakukan maka inflasi juga akan naik karena akibat besar defisit.
Sementara itu citra pemerintah dan BI masih juga bisa ditingkatkan dan kepercayaan pasar dikembalikan kalau berbagai pernyataan dari pejabat Departemen Keuangan dan pejabat Bank Indonesia bisa dikoordinasikan lebih baik sehingga tidak menambah confusion di pasar uang.
Sumber dari Kumpulan Artikel Ekonomi Moneter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar