15 Juni 2009

Artikel Ekonomi


MELEPASKAN SUMBAR DARI BELENGGU KEMISKINAN
Oleh : Yeniwati, SE
Perhatian pemerintah daerah terhadap pengentasan kemiskinan tahun-tahun belakangan terlihat mulai membaik, meskipun itu melalui kebijakan turunan dari pusat seperti pemberdayaan UKM melalui PNPM Mandiri, Raskin, sampai pada BLT. Demikian juga dengan pengobatan gratis bagi rakyat kurang mampu dan gratis biaya sekolah tingkat SD sampai SMP.
Akan tetapi sampai batas ini, kemiskinan masih tetap ada dan provinsi ini semakin sukar untuk keluar dari belenggu kemiskinan itu sendiri (Walaupun provinsi lainnya juga ada yang lebih miskin dari Sumbar).
Penyebab Kegagalan Program Penanggulangan Kemiskinan
Pada dasarnya ada dua faktor penting yang dapat menyebabkan kegagalan program penanggulangan kemiskinan di Sumbar. Pertama, program-program penanggulangan kemiskinan selama ini cenderung berfokus pada upaya penyaluran bantuan sosial untuk orang miskin. Hal itu, antara lain, berupa beras untuk rakyat miskin (Raskin) dan program Bantuan Langsung Tunai (BLT). Upaya seperti ini akan sulit menyelesaikan persoalan kemiskinan yang ada karena sifat bantuan tidaklah untuk pemberdayaan, bahkan dapat menimbulkan ketergantungan.
Program-program bantuan yang berorientasi pada kedermawanan pemerintah ini justru dapat memperburuk moral dan perilaku masyarakat miskin. Program bantuan untuk orang miskin seharusnya lebih difokuskan untuk menumbuhkan budaya ekonomi produktif dan mampu membebaskan ketergantungan penduduk yang bersifat permanen. Di lain pihak, program-program bantuan sosial ini juga dapat menimbulkan korupsi dalam penyalurannya.
Meskipun ada beberapa program pemerintah yang cukup baik dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) melalui PNPM Mandiri, BOS untuk tingkat SD dan SMP, serta jaminan pelayanan kesehatan masyarakat yang kurang mampu. Namun program yang baik akan tidak tepat sasaran apabila pemerintah dalam hal ini pemerintah daerah tidak mampu mengarahkan masyarakat marginal yang menerima program tersebut untuk mendistribusikan dananya bagi hal-hal yang produktif, sehingga oportunity cost dapat ditekan dan meningkatkan produktifitas masyarakat itu sendiri.
Sebagai contoh, dengan gratisnya sebagian dari uang sekolah baik itu buku pelajaran, uang pembangunan dan beberapa komponen biaya yang semestinya dan selama ini menjadi beban biaya oleh masyarakat dan kini di tanggung pemerintah, sepatutnya masyarakat dapat mengalihkan pos anggaran biaya tersebut untuk keperluan lain yang bermanfaat bagi peningkatan taraf kehidupannya. Jangan sampai program ini menjadi paradoks economic. Disatu sisi masyarakat tidak perlu lagi membeli buku pelajaran namun sisi lainnya masyarakat meningkatkan pembelian untuk keperluan konsumtif lainnya. Demikian juga BLT yang sepatutnya untuk menutupi defisit biaya akibat kenaikan BBM, malah dipergunakan sebagai modal untuk baampok di lapau atau pasang togel.
Faktor kedua yang dapat mengakibatkan gagalnya program penanggulangan kemiskinan adalah kurangnya pemahaman berbagai pihak tentang penyebab kemiskinan itu sendiri sehingga program-program pembangunan yang ada tidak didasarkan pada isu-isu kemiskinan, yang penyebabnya berbeda-beda secara lokal.
Sebagaimana diketahui, data dan informasi yang digunakan untuk program-program penanggulangan kemiskinan selama ini adalah data makro hasil Survei Sosial dan Ekonomi Nasional (Susenas) oleh BPS dan data mikro hasil pendaftaran keluarga prasejahtera dan sejahtera I oleh BKKBN.
Kedua data ini pada dasarnya ditujukan untuk kepentingan perencanaan nasional yang sentralistik, dengan asumsi yang menekankan pada keseragaman dan fokus pada indikator dampak. Pada kenyataannya, data dan informasi seperti ini tidak akan dapat mencerminkan tingkat keragaman dan kompleksitas yang ada di Indonesia sebagai negara besar yang mencakup banyak wilayah yang sangat berbeda, baik dari segi ekologi, organisasi sosial, sifat budaya, maupun bentuk ekonomi yang berlaku secara lokal seperti Provinsi Sumatera Barat ini.
Bisa saja terjadi bahwa angka-angka kemiskinan tersebut tidak realistis untuk kepentingan daerah ini, dan bahkan bisa membingungkan pemimpin lokal (pemerintah kabupaten/kota). Sebagai salah satu kriteria masyarakat miskin yang menerima BLT, rumahnya belum berlantai semen dan masih berlantai tanah. Namun bila dilihat isi perabot rumah tersebut yang mana alat elektroniknya komplit baik itu TV, bahkan sampai kepada Kulkas, apakah ini masih masuk dalam kategori masyarakat miskin ?
Secara konseptual, data makro yang dihitung BPS selama ini dengan pendekatan kebutuhan dasar (basic needs approach) pada dasarnya (walaupun belum sempurna) dapat digunakan untuk memantau perkembangan serta perbandingan penduduk miskin antardaerah di Sumbar. Namun, data makro tersebut mempunyai keterbatasan karena hanya bersifat indikator dampak yang dapat digunakan untuk target sasaran geografis, tetapi tidak dapat digunakan untuk target sasaran individu rumah tangga atau keluarga miskin. Untuk target sasaran rumah tangga miskin, diperlukan data mikro yang dapat menjelaskan penyebab kemiskinan secara lokal, bukan secara agregat seperti melalui model-model ekonometrik.
Strategi Pemerintah Daerah ke depan
Data dan informasi kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran sangat diperlukan untuk memastikan keberhasilan pelaksanaan serta pencapaian tujuan atau sasaran dari kebijakan dan program penanggulangan kemiskinan, baik di tingkat provinsi, kenagarian maupun jorong.
Kajian secara ilmiah terhadap berbagai fenomena yang berkaitan dengan kemiskinan, seperti faktor penyebab proses terjadinya kemiskinan atau pemiskinan dan indikator-indikator dalam pemahaman gejala kemiskinan serta akibat-akibat dari kemiskinan itu sendiri, perlu dilakukan. Oleh karena itu, pemerintah kabupaten/kota dengan dibantu para peneliti perlu mengembangkan sendiri sistem pemantauan kemiskinan di daerahnya, khususnya dalam era otonomi daerah sekarang. Para peneliti tersebut tidak hanya dibatasi pada disiplin ilmu ekonomi, tetapi juga disiplin ilmu sosiologi, ilmu antropologi, dan lainnya.
Sebagai wujud dari pemanfaatan informasi untuk proses pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan pembangunan di daerah, diusulkan agar dilakukan pemberdayaan pemerintah daerah, instansi terkait, perguruan tinggi dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) dalam pemanfaatan informasi untuk kebijakan program. Kegiatan ini dimaksudkan agar para pengambil keputusan, baik pemerintah daerah, dinas-dinas pemerintahan terkait, perguruan tinggi, dan para LSM, dapat menggali informasi yang tepat serta menggunakannya secara tepat untuk membuat kebijakan dan melaksanakan program pembangunan yang sesuai.
Pemerintah daerah perlu membangun sistem pengelolaan informasi yang menghasilkan segala bentuk informasi untuk keperluan pembuatan kebijakan dan pelaksanaan program pembangunan yang sesuai. Perlu pembentukan tim teknis yang dapat menyarankan dan melihat pengembangan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah. Pembentukan tim teknis ini diharapkan mencakup pemerintah daerah dan instansi terkait, pihak perguruan tinggi, dan peneliti lokal maupun nasional, agar secara kontinu dapat dikembangkan sistem pengelolaan informasi yang spesifik daerah, sehingga suatu saat nanti kita dapat melihat bahwa provinsi Sumatera Barat ini benar-benar dapat terlepas dari belenggu kemiskinan dan menuju kepada kemakmuran.
* Penulis adalah Dosen Fakultas Ekonomi UNP Padang

Tidak ada komentar: