04 Juli 2009

Artikel Ekonomi Moneter


MENGELOLA INFLATIONARY EXPECTATIONS
Oleh : M. Sadli

Angka inflasi bulan Oktober 2008 sangat tinggi (8,75%) dan untuk bulan November masih tinggi juga (1,31%) sehingga inflasi untuk tahun 2008 akan mendekati 19%. Sudah tentu, seluruhnya bukan kesalahan pemerintah. Inflasi tinggi sekali bulan Oktober bersumber kepada kenaikan harga minyak bumi di pasar internasional. Tetapi, pemerintah pun tidak menyangka bahwa dampak penyesuaian harga BBM begitu besar. Di negara-negara tetangga dampaknya tidak terlalu besar. Padahal, di Indonesia penyesuaiannya belum 100% karena untuk tahun anggaran 2006 pemerintah masih menyediakan subsidi untuk BBM ini sekitar Rp 50 trilyun. Maka kenaikan tingkat harga juga (sangat) dipengaruhi oleh tingkah laku para penjual dan pemasok di pasar. Tetapi, kenaikan harga yang melebihi perhitungan pass-through ini diterima oleh para pembeli, karena para pembeli pun percaya bahwa "sekali inflasi, tetap inflasi (dan lebih tinggi lagi)". Gejala demikian disebut inflationary expectations, yang, diakui oleh Bank Indonesia, membuat kepala pejabat moneter pusing. Pada suatu pertemuan tingkat tinggi di Jakarta minggu yang lalu maka Gubernur Bank Indonesia menyebut management of inflationary expectations ini menjadi prihatin utamanya. Bank Indonesia punya beberapa instrumen untuk melakukan tugasnya ini. Suatu instrumen utama adalah penetapan tingkat bunga (BI rate dan SBI rate). Belakangan ini BI sudah menaikkannya sampai di atas 12% setahun, memberi isyarat kepada pasar bahwa Bank Indonesia sungguh-sungguh dalam ikhtiarnya. Neraca BI sendiri, juga APBN pemerintah, akan terpengaruhi buruk kalau tingkat bunga ini naik karena pembayaran bunga bertambah. Maka sekaligus BI masih menghadapi dilema. Apakah tingkat bunganya ini masih harus dinaikkan lagi karena tingkat inflasi melebihi BI rate ini, ataukah berhenti dulu dan melihat melihat perkembangannya? Tetapi, menunggu lama ternyata juga telah menimbulkan ongkos besar.Umum memperkirakan bahwa tingkat inflasi bulan November dan Desember akan turun, dan suara optimis di BI dan pemerintah mengharapkan angka inflasi bulan November dan Desember akan jatuh di bawah satu persen per bulan. Untuk bulan November saja ini sudah tidak benar. Di bulan Desember masih ada pengaruh hari Natal dan akhir tahun. Di lain fihak, kalau kebijakan moneter BI betul-betul sangat ketat maka daya beli riil di masyarakat juga tidak akan bertambah dan sejumlah harga yang naiknya terlalu tinggi akan turun lagi. Tetapi, reaksi-reaksi normal demikian masih bisa gagal oleh karena sentimen di pasar yang sarat dengan inflationary expectations. Walaupun jumlah uang yang beredar tidak bertambah banyak, kecepatan beredarnya (velocity of circulation) masih bisa meningkat, yang dampaknya sama seperti kalau jumlah uang yang beredar bertambah. Sekali lagi, banyak tergantung dari sukses atau kegagalan Bank Indonesia mengelola inflationary expectations ini. Di lain fihak, yang menentukan efek inflasi bukan kebijakan moneter Bank Indonesia saja. Pemerintah lewat dampak anggaran belanjanya juga bisa berpengaruh terhadap tingkat inflasi. Di sini pemerintah menghadapi dilema. Secara nominal maka APBN pemerintah tidak terlalu menjadi sumber inflasi karena besaran defisitnya kecil, kurang dari satu persen PDB. Defisit APBN di lain-lain negara ASEAN lebih besar. Akan tetapi, mengapa tingkat inflasi di Indonesia jauh lebih tinggi daripada inflasi di Malaysia dan Thailand? Salah suatu sebab adalah pengaruh inflationary expectations di kedua negara tetangga ASEAN itu tidak ada atau tidak besar. Ini karena sejarah dan reputasi pemerintahnya, yang senantiasa lebih prudent.Menteri Negara Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Sri Mulyani Indrawati, baru-baru ini menyatakan bahwa realisasi defisit tahun 2008 kecil sekali oleh karena pengeluaran pemerintah telah sangat dibatasi oleh perubahan aturan yang menyangkut anggaran belanja pemerintah. Karena ada tekanan besar untuk menstimulasikan ekonomi (inilah sumber dilema bagi pemerintah) untuk menciptakan kesempatan kerja serta mengurangi kemiskinan maka pemerintah mau menggenjot pengeluarannya di tahun 2006. Sebetulnya, defisit APBN 2006 dipatok 0,7% PDB akan tetapi akan menjadi 1% PDB oleh karena carry-forward pengeluaran untuk pembangunan ini. Masalahnya, apakah kebijakan fiskal nanti yang agak expansionary ini tidak meniadakan efek kontraksi kebijakan moneter BI yang mau meneruskan kebijakan uang ketatnya untuk mengerem inflasi tinggi? Menteri Perencanaan Negara tidak khewatir, akan tetapi seorang ekonom yang terkenal, Kahlil Rowter dari Mandiri Securities, memberi peringatan demikian pada suatu seminar ISEI baru-baru ini, di mana Sri Mulyani juga menjadi pembicara. Sayang tidak terjadi pertukaran pendapat waktu itu.

Tidak ada komentar: