05 Juli 2009

Artikel Ekonomi Moneter


PERTUMBUHAN EKONOMI TIDAK BISA DIPAKSAKAN
Oleh : M. Sadli

Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) minggu yang lalu telah menggelar sidang pleno tahunan selama dua hari di Hotel Nikko, dengan tema umum “Percepatan Pertumbuhan Ekonomi dan Penciptaan Lapangan Kerja Baru”. Banyak masalah dibahas, baik dari segi ekonomi makro, maupun mikro atau sektoral. Yang penting adalah persentasi Dr. Miranda Gultom pada hari pertama, sesion pertama, sehingga papernya bisa dipandang sebagai referensi utama. Judul papernya adalah “Mengapa Stabilitas Makro Telah Tercapai Namun Sangat Lambat dalam Menggerakkan Pertumbuhan Ekonomi?”. Cara analisanya adalah konvensional, yang juga sudah sering dilakukan oleh penulis ini. Walaupun Sdr. Miranda di sidang pleno ISEI ini bicara dalam kedudukan pribadinya, namun ia menjabat Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, sehingga pandangannya kiranya sejajar dengan kebijakan moneter yang resmi. Sdr. Miranda senantiasa memberi tekanan kepada misi utama Bank Indonesia di zaman reformasi ini, yakni misi tunggal menjaga nilai rupiah, yang secara operasional juga bisa disebut menjaga rendahnya inflasi (misi resmi sekarang adalah inflation targeting). Ia juga beberapa kali menyebut good governance sebagai pedoman pokok. Sdr. Miranda membuka papernya dengan kalimat: “Evaluasi secara umum terhadap kondisi makro-ekonomi hingga triwulan I 2005 menunjukkan bahwa stabilitas perekonomian yang telah mulai dicapai dalam kurun waktu dua tahun terakhir masih dapat dipertahankan sebagaimana tercermin pada indikator utama makro-ekonomi seperti perkembangan besaran moneter, suku bunga, nilai tukar, inflasi, dan indikator kinerja perbankan”

Perkembangan besaran moneter, diukur dengan M-zero (base money), maupun dengan ukuran M1 dan M2, semuanya masih ada dalam kisaran yang aman dan stabil. Suku bunga SBI satu bulan menunjukkan penurunan konsisten dari sekitar 17% pada awal 2002 menjadi sekitar 7,4% pada awal 2005. Penurunan suku bunga tersebut diikuti oleh penurunan suku bunga kredit, walaupun dengan pola penurunan yang relatip lambat. Nilai tukar rupiah selama beberapa periode terakhir bergerak relatif stabil dengan tingkat volatilitas yang cukup rendah. Secara tahunan, inflasi terus mengalami penurunan yang konsisten dari 12,55% pada tahun 2001 menjadi 6,4% pada akhir 2004. Inflasi di Indonesia bak penyakit endemis (seperti malaria) dan berakar di sejarah. Tingkat inflasi di Malaysia dan Thailand senantiasa lebih rendah. Inflasi di Indonesia tinggi sekali di zaman Presiden Sukarno, karena kebijakan fiskal dan moneter sama sekali tidak prudent (“kalau perlu uang, cetak saja”). Di zaman Suharto pemerintah berusaha menekan inflasi akan tetapi tidak bisa di bawah 10% setahun rata-rata, antara lain oleh karena Bank Indonesia masih punya misi ganda, antara lain sebagai agent of development, yang bisa mengucurkan kredit likuiditas tanpa batas. Baru di zaman reformasi, mulai di zaman Presiden Habibie maka fungsi Bank Indonesia mengutamakan penjagaan nilai rupiah. Tetapi karena sejarah dan karena inflationary expectations masyarakat (yang bertolak ke belakang, artinya bercermin kepada sejarah) maka “inflasi inti” masih lebih besar daripada 5% setahun. Bank Indonesia sekarang punya sasaran untuk menekan angka inflasi ini. Di level teknis sudah ada kesepakatan antara Pemerintah dan Bank Indonesia untuk membawa tingkat inflasi jangka panjang ke kisaran 3% setahun. Untuk tahun 2005 sasaran BI adalah 6% plus-minus 1%, untuk tahun 2006 5,5% plus-minus 1% dan untuk tahun 2007 5% plus-minus 1%. Maka yang menjadi tarohan adalah inflasi tahun 2005 ini yang dibayangi oleh kenaikan harga BBM. Menurut LPEM-FEUI akan ada tambahan inflasi sekitar 1%, tetapi ada pakar ekonomi lainnya yang memperkirakan 3%, bahkan pakar BPS memasang angka 12%.

Pengalaman sejarah menujukkan pengaruh kenaikan harga BBM kepada inflasi dalam kisaran 1-2% setahun. Pengendalian inflasi masih menghadapi resiko intern dan ekstern yang cukup besar. Dari dalam negeri ada pengaruh politik untuk mengucurkan dana perbankan yang lebih besar ke sektor riil, terutama ke sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM), dengan suku bunga yang rendah. BI juga tidak dapat mengendalikan perkembangan M-zero secara sempurna, karena perbankan komersial harus melayani keperluan uang para nasabanya, yang bisa dipengaruhi oleh inflationary expectations. Resiko dari sektor ekstern timbul kalau harga minyak bumi masih terus naik, atau nilai rupiah mengalami depresiasi. Belakangan ini bahkan beberapa komoditi pertanian, seperti beras dan gula, mengalami kenaikan harga internasional, yang semuanya akan menjadi imported inflation bagi Indonesia. Sdr. Miranda menyebut beberapa “fundamental ekonomi” yang belum baik sebagai penghalang tercapainya laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertama, masih tingginya pengangguran dan kerentanan pasar tenaga kerja. Kedua, lemahnya kegiatan investasi dan permasalahan fundamental terkait. Ketiga, tingginya potensi tekanan inflasi secara structural Pengangguran yang tinggi terkait kepada pertambahan penduduk dan kualitas pendidikan dan skill sebagian terbesar SDM kita.

Di lain fihak pasar tenaga kerja juga kurang fleksibel, artinya, amat mahal bagi perusahaan untuk mengurangi tenaga kerjanya kalau pasarnya menciut. Biaya pesangon untuk pemutusan hubungan kerja amat tingginya. Karena hubungan industrial di Indonesia kurang menguntungkan perusahaan maka banyak bakal investor internasional memilih lokasi Cina dan Vietnam ketimbang Indonesia. Lemahnya kegiatan investasi baru juga oleh karena bagi pengusaha kepastian hukum sejak reformasi telah berkurang. Pelaksanaan otonomi daerah menambah ketidak pastian. Indonesia sekarang terkenal sebagai high-cost economy. Salah suatu sumber ekonomi biaya tinggi adalah kurang memadainya infra-struktur, karena sejak 1998 praktis tidak ada investasi pemerintah di bidang infra-struktur ini Sebetulnya masih ada suatu rintangan fundamental, yakni intermediasi sistim perbankan belum bisa bekerja secara normal, karena ketatnya prudential rules yang baru dan masih ada trauma kredit macet Sejak tahun 2004 sudah ada tanda-tanda positip kenaikan investasi dan ekspor akan tetapi belum cukup untuk mengembalikan kinerja zaman sebelum krisis. Waktu itu jumlah investasi nasional (gross) sekitar 30% dari PDB. Di tahun 2004 baru melintasi 20% dari PDB. Statistik impor barang modal juga mulai naik. Akan tetapi, kebanyakan investasi yang masuk belakangan ini ditujukan ke sektor-sektor yang lebih konsumtip, seperti real estate dan shopping malls. Investor asing, misalnya Jepang, juga masih ragu-ragu masuknya, walaupun sudah cukup banyak investor dari negara tetangga Asean (Singapura, Malaysia) dan dari Cina yang mulai masuk. Tetapi, yang dibutuhkan adalah investasi di bidang industri yang menopang ekspor. Daya saing ekspor Indonesia telah melemah, antara lain oleh karena sejak krisis tidak ada investasi baru untuk meningkatkan teknologi. Maka bisa diadakan kesimpulan, seperti juga dilakukan oleh moderator Hadi Susastro pada sesi pertama itu (yang membahas paper Dr. Miranda) bahwa kebijakan fiskal dan moneter adalah sangat penting dan diperlukan akan tetapi belum cukup untuk meraih pertumbuhan tinggi bagi ekonomi Indonesia. Yang masih diperlukan adalah kebijakan-kebijakan untuk mengimbangi kelemahan struktural, seperti penegakan hukum untuk menjamin kepastian usaha dan perubahan dalam hubungan perburuhan. Pelaksanaan otonomi daerah harus dibenahi agar kepastian usaha bagi perusahaan lebih besar. Administrasi perpajakan juga harus dirombak karena ketidak pastian dan KKN dalam perkiraan serta pungutan pajak mengganggu banyak perusahaan besar Pada umumnya kebijaksanaan pemerintah sekarang untuk mencapai laju pertumbuhan lebih tinggi adalah cukup konservatip (prudent), menyadari bahwa banyak tergantung dari jumlah investasi, yang sebagian besar harus datang dari sektor swasta. Maka yang paling penting adalah membangun iklim investasi yang menarik. Sesudahnya, kita harus sabar menunggu investasi ini datang. Baru sesudah itu laju pertumbuhan akan PDB naik.Pemerintah sendiri harus memaksimalkan investasi lewat anggaran belanjanya, misalnya untuk membangun infra-struktur yang tidak menguntungkan bagi investor swasta. Tetapi, pengelolaan APBN ini masih mengandung permasalahan sendiri, yang juga terkait dengan prinsip kehati-hatian (prudence). Sasaran Presiden SBY yang dikumandangkan di masa kampanye sebetulnya terlalu ambisius (misalnya mencapai laju pertumbuhan rata-rata 6,6% dalam lima tahun). Laju pertumbuhan di tahun pertama (2005) mungkin sekali (baru) 5,5%. Apa laju pertumbuhan tahun 2009 bisa mencapai 7,6%? Potensinya ada, akan tetapi apakah bisa “dipaksakan”? Ada yang mau memaksakan dengan memperbesar defisit APBN (menjadi lebih besar dari 1% PDB). Masalahnya adalah bagaimana membiayainya? Dengan menambah utang luar negeri? Bisa dengan menambah utang dalam negeri akan tetapi harus dijaga jangan crowding out pasar kredit bagi sektor swasta. Sebetulnya, (mantan) Menteri Keuangan Boediono sudah mulai menempuh jalan itu. Ada yang menganjurkan jangan takut inflasi naik. Ini main dengan api. Sekali inflasi tertiup maka masyarakat ingat zaman yang lalu, sedangkan BI mau mengusahakan agar expectations ini forward looking

Tidak ada komentar: