23 Juni 2009

Artikel Ekonomi


BELAJAR DARI NEGARA TERMISKIN DI DUNIA
Oleh : Yeniwati, SE

Dalam berbagai karya ilmiah maupun jurnal dari tokoh-tokoh ekonomi Indonesia, 90% lebih condong mengupas perekonomian negara maju ataupun negara sedang berkembang, dan hanya segelintir yang mau meneliti tentang kondisi dan penyebab kenapa sampai tahun 2009 ini masih ada lebih kurang 50 negara yang dikategorikan sebagai negara termiskin di dunia (Alhamdulillah Indonesia tidak termasuk didalamnya).
Lebih ironisnya, negara paling miskin didunia dari 50 negara tersebut adalah tetangga kita Timor Leste, kemudian ada Banglades dan sebagian besar negara-negara konflik di Afrika Barat seperti Angola, Sudan, Gambia, Senegal, Ginea Ekuator.
Penyebab Kegagalan Negara Miskin
Hal yang menarik dari kondisi ekonomi negara-negara ini adalah pada angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi. Di tahun 2008 lalu, angka pertumbuhan rata-rata mencapai 3-4%. Masalahnya, sebagian besar pertumbuhan itu berkaitan dengan berlipat-gandanya kucuran bantuan dari negara-negara kaya. Sayangnya, menurut UNCTAD pertumbuhan ekonomi tinggi itu tidak langsung berimbas ke dalam penyediaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan.
Tingkat pendidikan yang sangat rendah, serta keterampilan yang terbatas, membuat penduduk sulit bersaing di pasar kerja, karena produktivitasnya sangat rendah. Dalam hitung-hitungan UNCTAD, lima pekerja di 50 negeri termiskin itu tingkat produktivitasnya sama dengan seorang pekerja di negara berkembang, artinya apa yang dihasilkan oleh seorang pekerja dari Indonesia menyamai apa yang di hasilkan 5 orang pekerja dari Timor Leste ataupun negara miskin lainnya. Dan kalau dibandingkan dengan negara maju, lebih parah lagi. Tingkat produktivitasnya 1 berbanding 94 orang.
Masalahnya, upaya menggerakan roda ekonomi di negara-negara miskin berhadapan pula dengan berbagai perkara lain yang bagai benang kusut. Seperti kerusuhan sosial (Timur Leste tahun 2008 melalui pemberontakan Alvredo), korupsi, dan kekuasaan para diktator (Terjadi disebagian besar negara Afrika), maupun perang antar etnik (Terjadi di Sri Lanka, dan Afganistan). Sementara menurut Michael Hermann, bantuan dari negara maju, juga tak terlalu tertuju pada upaya peningkatan kemampuan ekonomi rakyat.
"Seruan untuk menggerakkan roda perekonomian bukan ide yang revolusioner. Tapi dalam konteks politik, seruan itu hampir seperti perubahan paradigma. Karena politik bantuan pembangunan negara barat cenderung diarahkan untuk bidang sosial. Misalnya saja bantuan lebih difokuskan untuk bidang kesehatan dan pendidikan."
Meskipun pada tanggal 15 Juni 2009 lalu, presiden Amerika Serikat Barack Obama melalui persetujuan kongres mengucurkan bantuan kemanusiaan jutaan dolar bagi negara Somalia. Namun dibalik bantuan tersebut lebih banyak bermuatan politik dan sangat sedikit mempengaruhi perekonomian bagi masyarakat mogadishu.
Huru-hara, kemiskinan, penindasan, korupsi, tingginya utang luar negeri, llangkanya lapangan kerja dan sangat rendahnya upah, membuat banyak warga 50 negara termiskin itu tergerak mengadu nasib ke negara-negara industri maju. Masalahnya, sebagian besar dari arus imigrasi itu berlangsung secara ilegal, dan akhirnya menimbulkan masalah sosial baru (Di tahun 2009 ini saja tercatat 2000 pengungsi dari Afganistan masuk wilayah Indonesia untuk ber imigrasi ke Australia) dan sebagian diantara mereka meninggal didalam perjalanan.
Kita Perlu Belajar Dari Kegagalan Tersebut
Seperti kata pepatah guru yang baik adalah pengalaman, dan pengalaman tersebut tidak selamanya yang baik tapi pengalaman yang buruk sekalipun mengandung suatu nilai hidayah yang dapat diambil intisarinya untuk dipelajari dan dijadikan pegangan bagi kita agar jangan sampai kedepannya negara ini malah terperosok kedalam 50 negara termiskin di dunia tersebut.
Dari pengalaman tersebut ada beberapa hal yang hendaknya pemerintah dan aparatur negara ini dapat lakukan, siapapun nantinya presiden yang terpilih, agar dapat mengimbangi laju pertumbuhan penduduk dengan pemerataan pertumbuhan ekonomi terutama sektor ril (UKM). Kemudian perlunya peningkatan kualitas pendidikan serta pemerataan pendidikan di negeri ini merupakan faktor utama dalam pembangunan ekonomi.
Pemerintah juga diharapkan dapat menciptakan iklim pertumbuhan investasi yang kondusif serta aman di negeri ini, serta penegakan hukum juga berperan penting dalam penciptaan stabilitas pembangunan ekonomi dan investasi.
Apapun namanya, apakah itu ekonomi pro rakyat, ekonomi lebih cepat lebih baik ataupun ekonomi lanjutkan, seperti slogan-slogan kampanye capres 2009 ini, yang jelas moralitas dari penguasa dan pelaku ekonomi sangat berandil besar bagi tercapainya kemakmuran ataupun kehancuran suatu bangsa. Moralitas yang buruk akan menimbulkan KKN, sehingga terjadi disparitas ekonomi, lalu berlanjut pada separatis dan akhir dari semua itu adalah hancurnya negara ini…
Penulis Adalah Dosen Fakultas Ekonomi UNP Padang
Jurusan Ekonomi Pembangunan

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Setelah Timor Leste bebas dari Indonesia, negara ini selalu di jadikan sebagai contoh dari semua yg jelek-jelek, salah satunya seperti yang dikatakan saudara kita ini. Tapi saya yakin dengan apapun alasannya, TL merdeka pada 2002 dengan segala keruntuhan di segala bidang. seperti perusakan dan bumi hangus yg terjadi pada saat itu oleh milisi yg di back up oleh TNI dan Polisi. Mereka bilang Timor timur (masa itu) telah menghabiskan anggaran pemerintah RI jadi merusak dan membakar habis setelah jajak pendapat 1999 adalah adil. Tapi sayang mereka lupa sejak tahun 1983, perjajian pemerintah Indonesia dengan Australia untuk mengali ladang minyak di Timor GAP, mereka tidak pernah membahasnya. Apakah ini hanya alasan saja? jawabannya fakta. Indonesiapun waktu merdeka di tahun 45, banyak sekali masalah pada saat itu dan pergolakan dan pemberontakan dimana-mana sampai tahun 1969 saat Soeharto mengambil alih pemerintahan.

Walau demikian, Timor Leste sekarang mambangun hubungan baik dengan Indonesia, bukan berarti TL negara miskin jadi mau mengemis sama saudaranya Indonesia. Sebuah hubungan selalu ada kepentingan dan itu tergantung. Tapi saya yakin, 5 - 10 mendatang Timor Leste akan berkembang ke arah yang lebih baik.